UKS


Aku masih berpikir keras sambil memain-mainkan ujung sepatu yang warnanya sudah
mulai kumal. Waktu mata pelajaran olahraga yang diadakan setiap hari Rabu sebentar lagi
akan segera selesai. Teman-teman sekelas mulai memenuhi kantin walaupun belum masuk
waktu istirahat. Kami mendapat semacam privilege untuk bisa ke kantin lebih dulu karena
mata pelajaran olahraga telah selesai sebelum waktunya. Kebahagiaan yang dirasakan oleh
teman-temanku tak berarti banyak untukku karena setelah waktu istirahat usai, aku harus
menghadapi sesuatu yang kukhawatirkan sejak tadi pagi.
Kantin makin ramai setelah lonceng sekolah dibunyikan, menjadi tanda bahwa sekarang
waktunya istirahat. Pak Amin menegurku yang sejak tadi duduk di dekat sana. Pria paruh
baya itu meletakkan gagang pemukul lonceng di tempatnya dan menghampiriku.

“Nak Kemal, ndak jajan kaya yang lain? logat Jawanya yang khas begitu kental terasa.

“Nanti, Pak. Belum lapar”. Walaupun sebetulnya cacing di perutku sudah meronta-ronta
.
“Kenapa sih, nduk? Kok mukamu uuuwasem gitu?”

“Nanti ada kelas Bu Ina nih, Pak”.

Pak Amin langsung menangkap maksudku. Bu Ina adalah salah satu guru yang dikenal
tegas di sekolah.

“Kenapa ya, Pak.. Perempuan kalau umur segitu belum nikah, suka sensi-an”, tanyaku
dengan wajah serius.

“Sensi-an gimana tho. Wong kalau tidak ada yang salah beliau ya beliau ndak akan marah”, jawabnya sambil setengah tertawa.

Sejujurnya saat itu yang kubutuhkan adalah solusi untuk masalahku saat ini atau setidaknya
telinga yang siap mendengar keluh-kesahku. Bukan malah respon menyebalkan yang
tendensinya justru membela Bu Ina. Kehadiran Pak Amin tak memberikan dampak yang
signifikan untukku dan masalahku. Tiba-tiba kepalaku terasa nyeri membayangkan apa
yang akan dilakukan Bu Ina kepadaku. Ditambah lagi tadi pagi aku tidak sempat sarapan
karena bangun kesiangan. Lapar dan stres menyerang kepala dan perutku. Aku tidak punya
cukup uang untuk membeli makanan di kantin seperti yang lain. Rasanya daun-daun
seperti menghitam, bendera yang berkibar di ujung tiang menjadi hitam-putih, dan seragam
murid-murid di sini menjadi putih-hitam. Kubenamkan kepalaku di antara kedua lututku
untuk mengurangi rasa nyerinya.

Semakin lama rasanya semakin pening. Waktu terus berjalan. Sekitar sepuluh menit lagi
aku akan menjumpai dua jam terburuk dalam hidupku. Rasanya aku ingin dilahirkan
kembali dan bukan sebagai Kemal atau kalau bisa, aku ingin hari ini tidak ada saja, atau
kalau boleh memilih, aku ingin bukan Bu Ina yang menjadi guru mata pelajaran musikku.
Pak Amin masih duduk di sampingku. Pandangannya menerawang, seperti memikirkan
sesuatu tapi aku tak dapat menebaknya. Tangan kanannya sibuk memilin-milin janggutnya
yang hanya beberapa helai. Keriput di sekitar matanya menandakan usianya yang tak muda
lagi. Keriput-keriput itu semakin terlihat jelas saat ia tersenyum. Bentuknya seperti sungai
yang bercabang-cabang. Ah bukan, lebih mirip rumput laut bening yang biasa dijadikan
bahan dasar agar-agar. Aku jadi berpikir, apakah sebaiknya aku menahan diri untuk tidak
senyum supaya tak ada keriput di wajahku? Hm.

Setelah panjang lebar begini, bahkan aku lupa untuk mengenalkan sosok yang sejak
setengah jam lalu duduk di sampingku. Nama aslinya adalah Aminur Nasution. Kalian
mungkin bingung. Ada semacam ketidaksinkronan antara nama dan logat berbicaranya.
Marga Nasution merupakan ‘pemberian’ dari ayahnya yang turunan Batak. Saat kecil, ayah
Pak Amin merantau ke Kalimantan. Karena tak merasa kerasan tinggal di rumah mertua,
ibu Pak Amin memutuskan untuk pindah ke Jogja, tempat ia menghabiskan masa kecilnya.

Jadilah Pak Amin memiliki logat Jawa yang kental karena tinggal di kota pelajar ini sejak
kecil hingga sekarang. Aku begitu mengenal Pak Amin karena ia adalah tetanggaku. Ibuku dan Pak Amin berteman sejak mereka masih kecil. Bahkan aku pernah mendengar selentingan yang menyebutkan kalau Pak Amin pernah naksir pada ibuku. Namun, jodoh tak ada yang tahu.
Pak Amin kalah cepat. Ibuku akhirnya malah menikah dengan orang yang baru dikenalnya
sebulan, lalu menikah di bulan berikutnya. Mungkin itu juga membuat Pak Amin sangat
dekat denganku. Ia merasa berada di dekat ibuku saat sebetulnya ia sedang bersamaku.

Beliau pernah bilang kalau aku punya mata Ibuku, walaupun aku tak pernah merasa begitu.
Sampai saat ini, Pak Amin masih sendiri. Tak ada anak dan istri. Ayahnya tak pernah pulang sejak pertama kali ia pergi. Setiap hari Pak Amin disibukkan dengan profesinya sebagai penjaga sekolahku. Di rumah, ia akan mengurusi ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Aku selalu penasaran kenapa sampai saat ini, Pak Amin belum juga menikah. Padahal dengan menikah, akan ada sosok yang
membantu mengurusi Ibunya.

“Eh kamu kok belum ganti baju? Sudah jam berapa lho iki?” pertanyaan Pak Amin
membuyarkan lamunanku.

“Makanya lain kali kalau dikasih tugas itu dikerjai, nanti tak coba baik-baikin Bu Ina
supaya beliau ndak nesu sama kamu”.

“Nggih, Pak. Matur nuwun”.

Lima menit lagi. Aku butuh sekitar tiga menit untuk lari ke kelas dan mengganti baju.
Rasanya aku tak ada energi untuk sekedar beranjak ke kelas. Bantuan yang ditawarkan Pak
Amin nyatanya tak menjamin apapun. Namun, secara tiba-tiba, aku menemukan sebuah
solusi. Super solusi! “Ahh kenapa tidak dari tadi!”, batinku. Aku merasakan seperti dunia
ini kembali berwarna. Daun-daun kembali menghijau, bendera yang berkibar di ujung tiang
kembali menjadi merah-putih, dan seragam murid-murid di sini berubah lagi menjadi
putih-biru.

Pak Amin sudah tak disampingku karena ia harus membunyikan bel tanda waktu istirahat
telah usai. Ini menjadi semakin mudah. Tak akan ada orang yang mencegahku untuk
melaksanakan super solusiku. Aku akan ke UKS! Kupasang tampang pucat sejadinya agar
penjaga UKS percaya kalau aku sedang sakit dan tak kusangka cara ini berhasil. Kurebahkan badanku di dipan. Aku tak pernah merasa sejenius ini. Akhirnya aku dapat
melalui dua jam terburuk dalam hidupku dengan bahagia. "Mohon maaf Bu Ina, saya sedang tidak siap bertemu dengan Ibu”, senandungku dalam hati sambil senyum-senyum sendiri. Tak lama, akupun terlelap dalam damai.

Dua jam berlalu. Mata pelajaran musik seharusnya sudah selesai dan Bu Ina sudah tidak
ada di kelas. Kupakai kembali sepatuku dan bergegas ke kelas. Betapa terkejutnya aku
mendapati kelas sudah kosong. Yang tersisa hanya tasku, bentuknya murung tak karuan
karena ditinggal sendirian. Lalu, kemana semua orang? Kuhampiri mejaku. Hanya ia yang
tak merasa kesepian karena banyak teman-teman sesama mejanya di sini. Ada selembar
kertas mejaku. Di sana tertulis, “Kemal, tadi Bu Ina tidak masuk kelas karena ada rapat
guru. Jadi kita boleh pulang. Yeay!”

Komentar

Postingan Populer